Lahirnya Foto Jurnalistik, Diawali Foto yang Dimuat di Halaman Daily Graphic di New York Tahun 1873
HUNTINGFOTO.COM – Awalnya media cetak hanyalah berupa tulisan saja, yang kemudian berkembang menjadi tulisan dan ilustrasi gambar tangan dan kemudian berkembang disertai grafis
Secara singkat awalnya foto jurnalistik hanyalah sebagai foto pendukung sebuah berita saja.
Namun dalam perkembangannya foto jurnalistik tak lagi sebagai foto pelengkap sebuah berita saja.
Tetapi foto jurnalistik berkembang dan mampu menjadi sebuah foto berita secara mandiri, yang mampu menghebohkan dunia.
Penggunaan teknik fotografi dalam media cetak baru terjadi pada akhir abad 19.
Tepatnya, pada edisi tanggal 4 Maret 1873, surat kabar Daily Graphic di New York, Amerika Serikat memerbitkan foto buah karya Henry J Newton.
Foto hitam putih itu, menggambarkan pesona tambang pengeboran, adalah foto perdana di dunia yang diterbitkan di media cetak.
Sejak itu pula penggunaan foto sering kali menjadi pelengkap berita di dalam koran media cetak zaman itu.
Sementara di Indonesia sendiri foto jurnalistik digunakan sebagai alat komunikasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Foto jurnalistik di Indonesia, pertama di buat oleh seorang warga negara Indonesia pada saat terjadi detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan.
Alex Mendur (1907-1984) adalah nama wartawan foto yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei.
Alex dibantu adiknya Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica.
Pada saat itulah pada pukul 10.00 WIB pagi tanggal 17 Agustus 1945 saat dilaksanakan upacara pengibaran bendiri di Pegangsaan Timur, Jakarta foto jurnalis Indonesia lahir.
Kemudian perkembangan foto jurnalistik di era Presiden Soekarno berlangsung pasang surut.
Pasca kemerdekaan RI situasi politik belum stabil sehingga banyak media cetak yang tidak independen.
Meskipun alam demokrasi Soekarno, lebih longgar dibanding era Soeharto, namun juga banyak media yang dibredel oleh pemerintah saat itu.
Sehingga perkembangan foto jurnalistik di masa itu bisa dikatakan berjalan jalan ditempat.
Selanjutnya, di era Orde Baru (Orba), perkembangan foto jurnalistik hanya berjalan di tempat, seiring pembatasan penerbitan dari pemerintah.
Setiap penerbitan surat kabar saat itu harus mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP, yang nota bene untuk mengurus SIUPP ini sangatlah sulit.
Dizaman Orde Baru, seluruh media cetak dikendalikan dan diawasi oleh pemerintahan Orde Baru.
Tampilan visual foto media cetak, kebanyakan hanya diwarnai acara serimonial para pejabat.
Jumlah media juga dibatasi, media dibungkam, tidak ada kritik terhadap pemerintahan sama sekali.
Media yang kritis bisa kena sangsi pembredelan, jurnalis yang kritis pun akan berhadapan dengan hukum dan aparat keamanan sepert ABRI (angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Beberapa media dan jurnalis yang kritis mendapat tekanan dan intimidasi dari penguasa dan militer di bawah komando ABRI.
Tidak sedikit sejumlah jurnalis yang kritis harus masuk penjara, bahkan beberapa diantaranya kehilangan entah kemana.
Pada tahun 1996, menjelang kejatuhan pemerintahan Orba, perkembangan foto jurnalistik di Indonesia mulai bergeliat.
Banyaknya aksi demo, bentrok aktivis, penangkapan aktivis hingga peradilan para aktivis menjadi adegan menarik kalangan para jurnalis foto.
Berbagai aksi demo khsususnya di Jakarta, berlangsung terus menerus hingga melengserkan Presiden.
Tekanan dan tuntutan masyarakat terhadap turunnya Pemerintahan Ode Baru semakin kuat membuat dan media semakin dibutuhkan oleh warga.
Media cetak diapresiasi oleh warga masyarakat. Media cepat menjadi satu-satunya informasi terkait isu atau peristiwa yang terjadi.
Pada tahun itu tiras atau oplah media cetak mencapai kejayaannya, tiras sebuah media cetak nasional bisa mencapai ratusan ribu eksemplar setiap hari.
Meningkatnya oplah media cetak seperti koran, tabloid hingga majalah, juga mendorong kesejahteraan para jurnalis dan membuat para jurnalis lebih profesional.
Dimulai dari konflik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang pro dan anti pemerintahan menjadi berita yang paling hangat waktu itu.
Menyusul penangkapan sejumlah tokoh pergerakan dan aktivis mahasiswa hingga terjadinya kerusuhan Mei 1998 membuat pekembangan foto jurnalistik semakin bersinar.
Jurnalis foto yang tadinya bisa dihitung dengan jari, menjadi banyak seiring pertumbuhan media cetak dan online yang menjamur.
Karena di cabutnya UU Perss, yang mengharuskan penerbitkan media harus mengurus SIUP dari Departemen Penerangan pertumbuhan media detak bak jamur di musim penghujan.
Perkembangan foto jurnalistik Indonesia mulai bangkit mejelang kejatuhan Pemerintah Orde Baru 1988.
Di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie perkembangan foto jurnalistik mengalami kejayaannya, seiring kebebasan perss dan lahirnya media baru baik cetak maupun online.
BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan pada 21 Mei 1988 menyempurnakan UU Pokok Pers, dengan menghapus ketentuan izin mengurus SIUP dalam menerbitkan media masa.
Sejak kebebasan perss perkembangan foto jurnalistik di Indonesia mencapai pada puncaknya dan terus berkembang.
Sejumlah kantor berita asing yang tadinya hanya memiliki beberapa jurnalis foto, saat itu merekrut sejumlah freelancer tetap diberbagai kota besar di Indonesia.
Kantor berita asing itu diantaranya Associated Press France (AFP), Inggris Reuters dan Associated Press (AP, kini muncul nama-nama baru seperti EPA, Getty Images, Bloomberg, Xinhua dll.
Tak hanya itu, sejumlah penerbitan juga bermunculan, yang jumlahnya mencapai ribuan.
Dan itu terus berlanjut hingga sekarang, dengan lahirnya era digital, membuat pertumbuhan media online pesat.
Tak hanya itu bisnis berbasis digital juga terus tumbuh hingga memunculkan berbagai macam platform baru seperti starup, sosial media hingga bisnis digital lainnya, yang terus berkembang. ***