Cerita John Stanmeyer Dari Photographer Fashion Beralih ke Jurnalistik
HUNTINGFOTO.COM – Dikalangan wartawan foto, nama John Stanmayer sangatlah di kenal dan memiliki reputasi yang tidak diragukan lagi.
Dia adalah wartawan foto senior yang sudah malang melintang melakukan peliputan di berbagai belahan dunia, dengan berbagai peristiwa.
Dalam sebuah wawancara John Stanmayer mengatakan ia menekuni dunia fotografi berawal sebagai seorang fotografer fashion.
“Foto jurnalistik yang memilih saya. Saya memulai fotografi pada awal tahun 1980-an sebagai fotografer fashion,” kata John Stanmayer kepada Sebastian Song yang mewawancarainya di Bali ketika menggelar workshop.
Dia mengatakan pada waktu itu ia merasa bahwa, fotografi memiliki jalur-jalur kreativitas yang tak terbatas.
“Di sekolah seni, fotografer yang mengajar foto jurnalistik tak bisa memberi inspirasi pada saya,” ungka John.
Dia tidak pernah mendapat pencerahan yang cukup untuk merasakan kekuatan foto jurnalistik pada saat itu.
“Sementara itu, pengajar-pengajar lainnya seperti Albert Watson, Peter Lindbergh dan Helmut Newton, dalam banyak hal, kreativitas tak terbatas mereka masih menjadi inspirasi bagi saya,” jelasnya.
Saat itu John mengaku masih berusia awal dua puluh tahunan ketika bermukim di Milan, Italia sampai akhirnya ia terlibat dalam dunia fotografi media fashion.
Saat itu John Stanmayer bekerja untuk Vanity, sebuah majalah garda depan Italia yang sekarang tak terbit lagi.
Waktu itu, dia juga bekerja untuk majalah Interview saat Andy Warhol masih hidup.
“Tetapi saat itu saya masih muda dan memulai profesi ini begitu cepat,” kata John Stanmayer.
Sehingga tanpa tersadar bahwa pekerjaan di dunia fotografi membawa dia, menjauh dari panggilan yang sebenarnya.
“Suatu hari saya tersadar, bahwa saya sudah mencuci otak orang lain untuk berpikir bahwa mereka dianggap sebagai orang melalui busana yang mereka kenakan,” jelasnya.
Pada dasarnya ia memiliki epifani dan tersadar melalui sejumlah peristiwa yang kompleks bahwa jalan saya adalah foto jurnalistik.
Foto jurnalistik adalah fotografi kebenaran, yang merupakan fotografi berkekuatan lebih besar yang bisa saya bayangkan atau dia buat.
“Saya meninggalkan Milan dan pindah ke Madrid, Spanyol lantas mulai menekuni street photography,” kata John.
Setelah 6 bulan di sana kemudian ia kembali ke Amerika Serikat (AS), untuk bekerja pada sebuah koran dan menghabiskan selama 6 tahun di sana belajar foto jurnalistik.
Setelah itu, ia kemudian bergabung dengan agensi foto Saba, yang sekarang sudah tak beroperasi, dan pindah ke Asia tahun 1996.
Pria berinisial JS ini merasa ada suatu pemisah yang tumbuh secara luas, membagi kaya dan miskin, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh planet ini, bahkan di negara-negara kaya.
Hal itu membawa kesadaran akan kelemahan rasa kemanusiaan JS, bahwa dia beranggapan lebih kepada apa yang kita punya ketimbang anggapan tentang siapakah kita.
Menurut JS, tak ada yang salah dengan mengumpulkan uang.
Tapi memang benar ada masalah ketika nafsu membutakan manusia dan kekayaan menjauhkan kita dari keinginan untuk melihat dunia di sekitar kita.
“Begitu kita menganggap diri kita berbeda dari mereka, masalah kemiskinan tak akan terpecahkan,” jelas JS.
Begitu juga dengan seorang wartawan foto (pewarta foto) yang harus belajar untuk menilik ego mereka masing-masing.
“Isu-isu yang saya potret didokumentasikan melalui perspektif yang terlihat dalam foto-foto saya,” ujar John.
Dia ingin pemirsa foto untuk sepenuhnya memahami bahwa kita tak berbeda satu sama lain.
Dan, ketika kita berlanjut membutakan diri sendiri maka kita tak akan pernah bisa melihat.
Kenyataan ini tak hanya isu serius yang terjadi di Indonesia, melainkan juga isu serius bagi masyarakat global secara keseluruhan dan harus diarahkan sesegera mungkin agar pemisahan kaya-miskin tak semakin tak terkendali.
Bencana alam karena terjadi secara alamiah memang menakutkan dan bisa berskala besar hingga sangat menakutkan.
Bayangkan jika seseorang memotretnya tanpa bobot dan muatan tertentu. Tsunami di Asia, sebagai contoh.
Sangat jauh mengatasi fotografi, mengatasi jangkauan dan bingkai sebuah kamera.
Tetapi, tsunami juga memiliki efek memilukan yang bisa dirasakan di seluruh dunia.
“Peristiwa itu mengingatkan kita, betapa kecilnya kita dan mengingatkan kita pula bahwa, di tengah perlombaan kita meraih kekayaan fisik, kita tak akan membawa kekayaan itu sampai mati. Tak ada yang abadi,” ungkapnya.
Orang-orang yang saya jumpai di Aceh dan Sri Lanka mengingatkan saya kembali tentang realitas yang paling dasar, bahwa kita hanyalah manusia.
Di samping kehilangan keluarga, harta benda dan semangat, orang-orang di sana tetap miskin.
Hidup mereka semakin sulit di tengah situasi yang rumit, karena tsunami tak bisa diukur dengan skala manusia.
Peristiwa seperti itu di atas semua yang pernah kita lihat sebagai manusia.
Suatu proyek jangka panjang yang sedang saya kerjakan sehubungan dengan tsunami adalah mengikuti 3 orang korban yang kehilangan semua atau hampir semua anggota keluarga mereka.
“Saya berencana menghabiskan setahun ke depan untuk menyaksikan bagaimana mereka tak hanya berkompromi dengan kehilangan yang luar biasa,” kata John kala itu.
Tetapi juga bagaimana menempatkan diri mereka untuk mengembalikan kehidupan seperti sedia kala.
John Stanmayer berharap melalui proyek ini, tak hanya orang lain melainkan juga dia, bisa menempatkan peristiwa ini pada konteks perspektif kemanusiaan. ***