Salah satu pertunjukkan tarian modern dari Guangzhou, China. foto: dodo hawe

Metode Foto Jurnalistik ini, Untuk Pencapaian Lebih Cepat Para Pemula Dalam Membuat Karya Jurnalistik

HUNTINGFOTO – Untuk menguasai foto jurnalis seorang foto jurnalis juga harus menguasai peralatan fotografi seperti kamera.

Seorang foto jurnalis juga dituntut untuk mampu menghasilkan karya foto secara baik, dengan sudut pengambilan yang berbeda, baru dan menarik.
Tentu saja, untuk mencapai pada tahapan itu membutuhkan proses pembelajaran dan pemahaman secara mendalam tentang konsep visual foto jurnalistik.

Mengutip bahasa dilontarkan Empu Ageng Oscar Mutuloh dari Brian Lanker, seperti yang dikutip Frank P Hoy dalam bukunya Photojurnalism menjelaskan visual aprroach mengungkapkan ada tiga jenjang yang baik sebagai basis seorang untuk memilih berkecimpung di dalam foto jurnalistik.

Yang pertama adalah Snapshots yakni pemotretan sekejab, cepat, seketika dan dilakukan spontan.

Snapshots adalah suatu gaya pemotretan yang dilakukan secara cepat dan spontan karena menyaksikan momen atau aspek menarik dalam keseharian.
Tindakan ini, dilakukan dengan spontanitas dan diikuti refleks yang kuat.
Jenjang pertama ini, masih menyangkut pendekatan yang sifatnya lebih pribadi.

Adu balap sepeda motor era tahun 1990-an di Surabaya. foto: dodo hawe

Yang Kedua adalah jenjang berikutnya adalah hobi atau advanced amateur photography.

Dalam tahapan ini, fotografer mulai menekankan faktor-faktor eksperimentasi dalam pemotretannya.

Fotografer tak lagi hanya melakukan snapshot saja, tetapi mulai melakukan daya kreativitasnya untuk melakukan pendekatan lain yang lebih luas.

Dalam tahapan ini seorang fotografer biasanya mulai tertarik pada kamar gelap.

Kalau saat ini kamar gelap dianggap tidak relefan lagi, mungkin akan digantikan dengan penguasaan terhadap proses editing gambar di photoshop.

Tahap berikutnya adalah Art Photography, suatu jenjang yang lebih serius di dalam fotografi melalui pendekatan artistik.

Berbagai obyek pemotretan dititik dengan interpretasi yang lebih luas.
Ekspresi obyektif biasanya terlihat di dalam karya pada tahapan ini. Kejelian, improvisasi, kreasi dan kepekaan terhadap suatu obyek menjadi basis pada jenjang ini.

Dengan penguasaan gaya dan pendekatan ke tiga jenjang itu photojournalism berada dalam tahap selanjutnya.

Artinya dalam mengemban profesi tersebut, maka seorang foto jurnalis dianjurkan menguasi dengan fasih ketiga jenjang atau tahapan tersebut di atas.

Selain itu, kreativitas dalam bervisualisasi sangatlah penting bagi seorang fotojurnalis.

Dengan kemampuan imajinasi dan kreativitas yang tinggi, biasanya akan mempercepat pencapaian untuk menghasilkan sebuah gambar yang bagus dan menarik serta bermakna.

Foto tidak hanya sekedar bagus, jelas, indah, tapi juga harus menarik dan ada sesusatu kekuatan di dalamnya serta pesan yang disampaikannya.

“Untuk itu, foto jurnalistik perlu adanya sebuah pendekatan visual dengan suara hati,” kata Oscar Mothuloh dari Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Indonesia ini.

Foto jurnalistik, juga tidak hanya menyajikan peristiwa melalui bahasa visual seadanya saja.

Perajin tembaga di Bondowoso, Jawa Timur. foto: dodo hawe

Dalam penyampaian informasi, diperlukan dengan menyajikan bahasa visual yang segar, menarik dan mampu menyampaikan pesan.

Untuk mendapatkan visual menarik dan sempurna, dibutuhkan kerja keras dan daya kreativitas yang memadai.

Sutradara layar lebar yang juga fotografer gaek dari Newsweek DW Griffith Wally MacNamee berpendapat, sebagai seorang fotografer besar, dia tak pernah jemu melihat dan melihat apa saja.

Dalam rapat kerja senat di Washington seorang fotografer dari New York Times, Geoger Tames langsung mengawasi seluruh pojok ruangan, saat dia memasuki ruang rapat.

Perlahan, sambil menyandang kamera 35 mm nya, dia mulai berjalan mengitari ruangan mengincar posisi pemotretan yang tepat dan terbaik.

Menurut MacNamee, naluri dan penciuman yang jeli diperlukan bagi seorang fotojurnalis, yang bersiap melakukan penugasan.

Sebagai vigur visual, seorang foto jurnalis juga harus memahami obyeknya.
Bahwa obyek perlu diobservasi untuk kemudian diekplorasi dalam suatu detail prima menjadi karya foto yang khas dan bertutur.

Berbagai sudut pengambilan (angle) yang diabadikan secara beragam dengan sudut pandang yang berbeda.

Kerahkan seluruh imajinasi, ketrampilan dan daya kreativitas untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah dibuat oleh orang lain.

Diperlukan kepedulian visual yang dalam, pemikiran yang stabil, menyakinkan dan terlatih.

Tentu setelah melampaui pengalaman yang sarat, sehingga intuisi itu akan datang begitu nalurinya mengisaratkan sesuatu peristiwa yang layak menjadi sebuah foto berita (fotojurnalistik).

Menurut Penuturan MacNamee biasanya pendekatan suatu penugasan dengan menggabungkan pengalaman dan antusiasme seperti yang diungkapkannya.

Menurutnya, setiap penugasan pasti berbeda, kendati sangat tipis dengan penugasan sebelumnya.

Penerjun gagal mendarat, nyangkut di kabel listrik di Ponorogo. foto: dodo hawe

“Lalu karena tajamnya persaingan, kita harus mampu menangkap detail-detail yang belum pernah tersentuh dan sering menjadikannya berbeda antara satu penugasan dengan penugasan lainnya.”

Menurutnya, seorang fotografer yang mampu terus menerus menangkap detail yang lebih tajam dapat menghasilkan foto-foto istimewa yang menenggelamkan karyafoto lainnya.

Cara belajar yang dilakukan, melalui tahapan-tahapan sesui metode yang diajarkan.

Untuk memperdalam foto jurnalistik sendiri memang tidak ada ketentuan pasti dari mana seorang pemula harus belajar fotojurnalistik.

Apakah dari penguasaan dasar-dasar dan teknik fotografi terpelebih dulu, atau apakah langsung pegang kamera dan langsung terjun di lapangan.

Di era kamera digital sekarang ini, memungkinkan seseorang tidak harus belajar banyak tentang dasar-dasar fotografi.

Namun telah dianggap mampu langsung ke lapangan dan bisa mendapatkan foto-foto yang bagus.

Karena memang semua kamera sekarang dirancang untuk memberi kemudahan terhadap penggunanya, sehingga dasar fotografi tidak perlu dipelajari secara mendalam.

Masih terkait pembahasan visual foto bagi seorang pemula foto jurnalis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.

Sehingga dalam proses belajar foto jurnalistik lebih fokus, tahapan demi tahapan melalui metode fotojurnalistik yang diperkenalkan.

Walter Cronkite Schol of Jurnalism Telecommunication Arizona State University memperkenalkan metode untuk mendapatkan variasi angle dan pilihan dalam melakukan pengambilan sebuah gambar dalam peliputan.

Salah satu peserta Jember Fashion Carnaval pertama di Jember pada 4 Agustus 2004. foto: dodo hawe

Seorang foto jurnalis, akan dengan mudah mendapatkan foto dengan berbagai macam variasi angle, apabila telah melakukan penguasaan metode yang diajarkan ini.

Metode ini diperkenalkan untuk mempermudah seseorang pemula di dalam melakukan tugas-tugas dalam melakukan peliputan foto.

Metode yang diperkenalkan adalah, metode EDFAT :

Metode EDFAT adalah sebuah metode pemotretan untuk melatih kepekaan dalam melihat sesuatu secara detail yang runtut dan tajam.

Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode itu adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita. Berikut ke lima tahapan dalam pemotretan itu:

Metode E (Entire) adalah tahapan yang dikenal juga sebagai Establised Shot, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain, untuk mengintai bagian-bagian lain untuk dipilih sebagai obyek pemotretan.

Metode D (Detail) suatu pilihan atas bagian tertentu dan keseluruhan pandangan terdahulu (entire).

Dalam tahap ini dilakukan suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai paling tepat sebagai point of interest-nya.

Pada tahap ini penglihatan dalam proses yang sedemikian cepat, diramu dengan pengetahuan jurnalistik yang memadai untuk menghasilkan imaji yang diinginkan.

Metode F (Frame) tahap dimana kita membingkai suatu detail yang telah dipilih.

Fase ini mengantar seorang cakon fotojurnalis mengenal arti sebuah komposisi, pola, tekstur, dan bentuk obyek pemotretan dengan akurat.

Dalam pase ini rasa artistik seorang fotojurnalis semakin penting.

Metode A (Angle) tahap dimana sudut pandang menjadi dominan pada fase sebagai pilihan untuk posisi dalam pengambilan gambar.

Apakah itu dengan memilih sudut pengambilan dari ketinggian, kerendahan, level mata, kidal, kanan dan cara lain dalam melihat sudut pandang.

Pada fase ini bagi seorang fotojurnalis menjadi penting untuk mengkonsepsikan visual apa yang kita inginkan.

Metode T (Time), tahapan penentuan penyiaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan (shutter speed) atas ke empat tingkatan metode yang telah disebutkan di atas.

Pengetahuan teknis atas keinginan pembekuan gerak atau memilih ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan.

Memilih metode ini sangat praktis kiranya, dan dapat dijadikan pedomanan dan kebiasaan, manakala seorang foto jurnalis pemula sedang mendalami fotografi jurnalistik.

Paling tidak metode EDFAT ini membantu proses percepatan pengambilan keputusan terhadap suatu event atau kondisi visual bernilai berita, yang cepat dan lugas.

Hakekat foto jurnalistik
Ada beberapa hal yang menjadi hakekat seorang fotojurnalis selain penguasaan pada metode di atas.

Yakni perlu memperhatikan hal-hal berkut ini:
Foto yang dihasilkan memiliki pesan yang jelas, penguasaan teknik yang meliputi cahaya dan gerak, penguasaan komposisi –didasarkan pada kreativitas dalam menggabungkan elemen-elemen yang ada dibingkai foto.

Seseorang yang telah memiliki kemampuan dan jam terbang yang tinggi, akan selalu merasa tidak puas dengan karya-karya yang pernah dibuatnya.

Penguasaan terhadap isu yang sedang berkembang di dalam masyarakat dirasakan sangat diperlukan bagi seorang fotojurnalis dalam kepedulian sosialnya dan sebagai seorang fotojurnalis yang bernurani.

Mengutip pendapat dari fotojurnalis Surabaya Mamuk Ismuntoro, seringkali seorang jurnalis foto dihadapkan pada peristiwa yang menuntut kecepatan berpikir untuk kemudian segera menekan tombol kameranya.

Di saat seperti inipun sebenarnya seorang pewarta foto layaknya memiliki kebisaan untuk stop, look, think dan action.

Artinya, diam, lihat, berfikir dan aksi. Pendeknya jangan terburu-buru melepaskan bidikan kamera.

Seorang foto jurnalis yang telah berkelana di negara-negara penuh konflik dan bermasalah di dunia John Stanmeyer mengaku tidak bisa menilai foto-foto miliknya yang mereka anggap bagus.

“Saya pernah ditanya tentang foto terfavorit saya yang pernah saya buat. Jawabannya sederhana, tak satu pun. Bagaimana kita bisa menilai kehebatan sebuah foto tentang anak kelaparan dengan foto yang lain tentang anak kelaparan juga. Anak kelaparan adalah anak kelaparan, suatu peristiwa,” kata Stanmeyer.

Menurut John Stanmeyer hal yang penting adalah mengkomunikasikan pesan foto tersebut dan cara terbaik untuk mempublikasikannya.

Hal yang paling menjemukan baginya adalah melihat foto di komputer dan tidak melakukan aktivitas memotret.

Menurut Stanmeyer, sebagai foto jurnalis kita harus senantiasa mencoba dengan tekun untuk membuat isu-isu serius bisa terlihat oleh publik.

Terutama agar bisa terlihat oleh orang-orang di kantor pemerintah dan pejabat-pejabat tinggi.

“Mereka adalah orang yang memiliki kekuasaan besar untuk membuat perubahan bagi orang-orang yang tak bisa membuat perubahan untuk diri mereka sendiri.” (dodo hawe, foto jurnalis Surabaya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *